Seekor kuda yang terdiam dan secarik surat yang di bawanya - sebuah cerita

Seekor kuda yang terdiam dan secarik surat yang di bawanya

Saat mula-mula duduk di teras yang amat menawan ini, aku pandangkan mataku ke depan, ke samping, hingga ke dalam rumah, kulihat; isinya lampu-lampu mati betebaran, di jalanan, di dalam rumah dan di dalam hati ini. Pada pukul yang terbilang sunyi, gemuruh hatiku ingin menyampaikan ombak perasaan ini kepadamu di ujung pantai kerinduan. Aku selalu pasrah dalam menghadapi dentuman malam yang semakin menghantu itu, aku selalu kaprah dalam kepasrahan merindukan senyumanmu.


(Gambar hanya pemanis,
tidak ada sangkut paut dengan ceritanya,
jadi maafkanlah...)


Ku ingin engkau datang dan menyampaikan kabar tentang hari; yang menyita kita untuk saling berjauhan, ku ingin kau menuliskan satu buah kalimat yang jujur tentang kerinduan ini. Malam selalu menuliskan, "Rindu itu sebagian dari iman, yang menguatkan perjuangan, pertemuan, kasih." Maka aku terdiam dalam keadaan menjaga iman untuk pertemuan dan pernikahan.

Sesepi apapun hari ini, lebih sepi lagi kita yang bahkan telah menjadi bapak dan ibu dari sepi itu sendiri. Kita menjaga sepi hingga dewasa dan paham akan keindahan yang tersembunyi di dalam dirinya; kesunyian yang berarti. Kita merawat sepi sebisa mungkin semampu mungkin dan memberikan pendidikan kasih sayang kepadanya hingga sepi menjelma redup rembulan di malam hari. Dan saat ku buka pintu rumahku, lalu kaki ini melangkah menyusuri jalanan yang gelap, rembulan dengan sisa sinar yang syahdu memberikan jalan mengembara kepadaku untuk sampai kepdamu, jalan yang panjang tak berkelok tapi naik turun. 

Kakiku terus melangkah hingga sedikit jenuh, namun ingatan terus membelenggu untuk sampai pelukanmu; maka jalan adalah kemenangan yang harus di lalui, walau lelah, walau terlihat kalah, walau mati penglihatan dan kabur. Sepanjang jalan tak ada keindahan yang ku temui selain daun-daun yang jatuh dan membentuk bayang wajahmu, itu saja yang indah. Tapi kulihat di depan; seekor kuda putih sendirian di lapangan, terdiam, seperti menunggu seseorang datang. Aku lantas mengahampirinya dan mengelus kepalanya, ia bangun dari diam, dan menunjukan surat yang tergeletak di samping dirinya. Ku ambil, ku buka, dan ku baca; tertulis kalimat untuk kekasih di bagian depan suratnya, dan tertulis, "Rindu itu sebagian dari iman, yang menguatkan perjuangan, pertemuan, kasih." Di dalamnya.

Oh, malam-malam yang panjang, kenapa ada semacam rindu yang semakin dalam semakin membuat pilu? Menghadirkan kekasih bagaimana di situasi semacam ini. Aku dan dirinya semacam hilang dari jarak dan menempat di semak-semak cerita pujangga. Jika memang rindu adalah sebagian dari iman, maka kuatkan lah iman hambamu ini sampai dimana perjumpaan berada dan pelukan menjadikan hangat yang sempurna. Tuhan, aku berdoa dalam rindu ini.

Aku bergegas pulang untuk mendapatkan tidur yang cukup, jam sudah subuh, kaki melangkah penuh, terlihat hujan subuh mengitari area desaku; menjatuhkan derai-derai kesyahduannya. Aku pelan-pelan dan berhati-hati seperti menjaga hati ini agar kerinduan menjadi rasa yang asri; menumbuhkan hijau kehidupan dan menutup gersang kecamuk nafsu. Aku pelan-pelan hanya untuk sampai ke rumahku.

Tapi oh, pandanganku tertuju kepada seorang gadis di ujung bola mataku; yang kehujanan dan berteduh di antara pepohonan rindang, dengan rambutnya yang basah dan matanya yang cemerlang oleh air hujan ini, ia berdiam seperti sedang menunggu. Lalu dari langit yang mendung datang seeekor kuda putih dengan anggun di hadapannya; kuda tersebut mempersilahkan gadis yang kehujanan itu naik dan terbang ke langit menjelang pagi datang. 

Kejadian alam yang nyleneh sering saja datang kepada seseorang yang telah dalam kerinduannya kepada seorang kekasih, seperti kejadian kuda putih yang terdiam membawa surat dan gadis yang terdiam kehujanan di antara pohon-pohon subuh, semuanya sabda alam dan sabda pikiran. Tetapi semuanya keindahan yang menemani dalam menjaga keimanan rindu ini.

(Sae.a.b, 2020.

Komentar

Postingan Populer