SEORANG NELAYAN DAN ANGIN YANG MERINDUKAN MASA KECIL- CERPEN OLEH SAE ARIF BILLAH



DATANG seorang nelayan dari arah matahari terbenam, Kakinya melangkah penuh gagah. Dan di belakangkangnya: senja mulai menari-nari bersama para dedaunan di musim semi. Satu langkah gugur satu daun, satu langlah gugur, sepuluh langkahnya, pepohonan telah tak berdaun. Memang konyol kejadian ini, Kenapa di sepanjang jalan banyak sekali daun berguguran? Aku tak menanyakannya kepada Tuhan, karena aku tahu, Tuhan pasti sudah tahu; bahkan sebelum jalan tertutup rapat dengan guguran daun. Aku hanya menanyakan kepadaku sendiri.


Dari pangkuan sore yang sedikit-sedikit menghilangkan pandang. Tak seorang pun terlihat di jalan: barang menuju langgar, menuju kesepian. Tak seperti waktu kecilku, sore-sore sudah bersiap diri, memakai koko, berwarna-pelangi, lengkap dengan bordir spongebob dan satu buah pecinya,” kata nelayan tersebut menghening.


Apakah zaman telah menjadi penghilang ingatan terbaik kala ini? Atau-atau zaman telah menidurkan seluruh para pahlawan? Bahkan mungkin zaman membuat ombak yang mengerikan: mengucilkan nenek moyang? Rinduku teramat panjang, jika mau di ceritakan.


Tak tahu kenapa, tiba-tiba saja, angin dari arah selatan berputar ke arah barat. Ia menanyakannya kepada angin asbab musabab kenapa ia berbelok arah. “Ngin, ada apa dengan dirimu? Kok malah berbelok arah. Bukankah ke utara lebih mengasyikkan, di banding ke barat? Kalau ke utara, kau dapat menepi di pantai mendengarkan maghrib di sela-sela rerindangan cemara, kau dapat mendengarkan gemulai ombak yang menari bersayup-sayup, bahkan, kau juga dapat mendengarkan dirimu sendiri, memainkan rantin-gemelatingan. Yang paling indah: kau dapat merasakan gemuruh hati di sapu pesisir pantai, yang lihai membuat sunyi.

Aku hanya ingin sepertimu pak. Berjalan mengenang. Dahulu kala, aku sering berjalan ke arah barat, berjalan dari mulai matahari tergelincir di atas ubun-ubunku. Aku berjalan meniup daun dan kembang, yang mengambang, di angin-angin, aku menari dengannya di sepanjang jalan. Dahulu kami sangat dekat dalam bergaul. Hingga pada suatu saat, tak tahu mengapa, para daun-daun temanku memalingkan wajahnya, dan menggugurkan dirinya. Aku tak pernah mengerti apa sebabnya, mungkin aku terlalu dekat dengannya, hingga aku tak merasakan: mungkin telah melukainya dengan kebodohanku. Sekarang aku berbelok ke arah barat, hanya ingin mengenang waktu, kalau bisa aku akan meminta maaf kepada teman-temanku itu. Apakah kau melihat teman-temanku, waktu kau berjalan ke arah timur?” panjang angin menjeaskan.

Dunia sekarang terasa begitu nyaman, rasa kepedulian pun terancam, tapi, mau bagaimana pun, hiduplah! Walau tak punya perasaan, karena waktu selalu berharap dan berdoa dalam detak-detik jam: agar memberi perasaan, kepedulian, bahkan ancaman. Ngin, kau yang masih tersisa di zaman ini sebagai makhluk yang peduli. Kepada teman-temanmu itu: salam dariku, bilang kepadanya: nelayan yang berjalan tadi disini ingin meminta maaf, ia tak mengerti kenapa kau berguguran, ia meminta maaf atas ketidak peduliannya terhadapmu.” bilangkan saja begitu, Ngin.”


Lanjutkan perjalananmu, Ngin. Di sana, teman-temanmu telah menantimu, mereka semua menantikan sebuah kunjungan darimu. Cepatlah berjalan, sebelum mereka menghilang.” Kata nelayan tersebut, dengan sedikit bersedih.


“Baiklah Pak, kalau begitu aku pamit, menjemput kenanganku itu, doakan saja Pak, agar teman-temanku masih mau menerima maafku ini, silahkan Pak, barangkali mau melanjutkan jalan ke arah timur lagi. Salam juga untuk keluarga di rumah, Pak.” Angin terbang lagi menuju ke barat, ke teman-temannya.


Angin melanjutka menuju ke arah barat, nelayan melanjutkan ke arah timur. Mereka saling berjalan memungkuri, tapi hatinya begitu mensyukuri: telah menemukan makhluk yang mau meminta maaf, walau sudah lama sekali mereka tak bertemu. Nelayan merasa begitu kasihannya angin itu, sambil terus berjalan, di hatinya berguman, “Maafkan aku, Ngin. Aku sengaja tak memberi tahumu, tentang kabar teman-temanmu itu, yang sekarang sudah ramai berguguran. Semoga kau menerimanya dengan lapang, semoga kau juga menyampaikan permintaan maafku, walau hanya dengan bisikanmu. Tenang saja, Ngin. Suata saat, kita akan bertemu lagi, di pantai mungkin, atau di tengah lautan mungkin, karena aku ingin membicarakan masa dahulu yang begitu syahdu. Sampai jumpa Ngin, sampai jumpa Un, sampai jumpa masa, sampai jumpa semua. Aku harus cepat pulang ke rumah, ke arah timur: dan menyampaikan keluarga di rumah kepada malam, di perbaringan tengah, di perbaringan teh hangat, sesudah melahap ikan yang aku dapatkan di laut tadi. Ngin ... ngin ... ngi ... n. Sampai jumpa.”


Hari menutup dirinya dengan maghrib di langit senjakalarindu. Tak ada pepohonan lagi, daunnya habis, kembangnya berterbangan. Tak ada sayup-sayup bunyian Angin lagi, ia telah jauh ke barat, bahkan mungkin telah menjumpai teman-temannya; dan ikut gugur di sapu kenangan.


***

(Sae.a.b, Tegal, 01-07-2020

_____


Nb;
Terus ikuti kisah-kisah dan puisi-puisi kami di Biang sunyi ini, semoga anda sekialian menyukainya, selamat membaca...
Dan jangan lupa share ke teman-temanmu  yang suka membaca, terlebih membaca puisi

Komentar

Postingan Populer